Senin, 25 Mei 2015

makalah Mazhab

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Melihat persoalan semakin ruwet dan semakin susah mencari penyelesaian dengan nas-nas maka menjadi landasan utama kenapa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah semenjak lama menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya.
Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.
Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap di idealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman.
Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme dalam Islam.

Namun tetap perlu disadari bahwa berijtihad adalah sebuah kesepian, karena setiap ijtihad yang baik hampir selalu mewujud menjadi pembangkangan dan penyangkalan atas klise pemikiran. Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang handal dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepandaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.
Dengan jalan ijtihad sebagai suatu cara mengimplementasi hukum Islam, mutlak harus ada, namuan catatan yang patut diketahui bahwa pengambilah hukum secara ijtihad tidak mudah, ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi sehingga baru bisa di sebut sebagai mujtahid, jika syarat ijtihad tidak terpenuhi maka cara pemecahan hukum yang dilakukan adalah dengan Ittiba yaitu mengikuti para mujtahid akan tetapi paham akan konsep dan landasan yang dipakai oleh mujtahid yang ia ikuti dalam pengembilan hukum tersebut dan orang yang berittiba di sebut Mutaabi. Jika ia tidak paham maka proses pengambilan hukumnya disebut Taqlid dan orang melakukan taqlid disebut muqallid, dan pada posisi terendah dalam pengambilah hukum disebut Talfiq yaitu mengambil hukum dari berbagai mashab-mashab atau faham-faham dan di jadikan satu dalam mengambilan hukum.
Dengan demikian bagaimana konsep pengambilan hukum dalam islam seperti yang telah disinggung diatas, maka bab selanjutnya dalam tulisan ini akan dipaparkan secara jelas.
B. Rumusan masalah
1.    Apa yang dimaksud Mazhab?
2.    Apa yang dimaksud Ijtihad?
3.    Apa yang dimaksud Taqlid?







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Mazhab
       Mazhab (bahasa arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
       Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus
Pembagian Mazhab
Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
Sunni 
Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Sedangkan untuk Sunni dari kalangan Salafiyah, menggunakan semua mahzab dengan dalil yang kuat sebagai pedoman dalam menjalani ritual keagamaan dan lain-lainnya.
1.  Hanafi 
Didirikan oleh Imam Abu Hanafi, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Srilanka, dan ), Mesir bagian Utara, separuh Iraq, Syiria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).


2.  Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad Hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
3.    Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia, Turki, Iraq, Syiria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, Filipina, Srilanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
4.    Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah Semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi.
Secara sosiologis timbulnya berbagai madzhab dalam hukum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang melingkupi para imam Madzhab dalam proses istimbath hukumnya. Di samping itu, Muhammad Syaltut dan Muhammad Ali al-Says, mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan timbulkan berbagai madzhab, antara lain:
1.    Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash. Para ulama’ berbeda dalam memahami lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz biasanya memiliki makna hakiki dan majazi. Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti “suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya dengan “haid”.
2.    Perbedaan dalam masalah hadits. Perbedaan ini terjadi, karena ada hadits yang sampai kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai kepada fuqaha yang lain. Di samping perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadits yang absah dijadikan basis argumentasi dalam ber-istidlal.
3.    Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash. Para fuqaha berbeda dalam memahami apakah suatu lafadz al-‘am itu qath’i atau zhanni. Sebagian memahami bahwa lafadz al-‘am itu bersifat qath’i jika tidak ada takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagai zhanni bukan qath’i.
4.    Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan (ta’arud). Para fuqaha berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara penyelesaiannya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan sehingga harus dicarikan metode penyelesaiannya melalui tarjih.
5.    Perbedaan dalam qiyas. Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama dalam intensitas penerimaannya.
6.    Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum. Dalil hukum di bagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah. Berkaitan dalil yang di sebut terakhir ini, para ulama’ berbeda dalam penerimaannya sebagai basis ber-istidlal.
7.    Perbedaan dalam pemahaman illat hukum dan nasakh. Illat hukum, merupakan dasar bagi penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan illat, dan mereka juga berbeda dalam nasakh, yaitu penghapusan suatu hukum dengan ketentuan hukum yang datang kemudian.
Di samping empat madzhab fiqih yang di sebutkan di atas, terdapat sejumlah madzhab fiqih lain, seperti madzhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Namun saat ini madzhab-madzhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) terdapat madzhab Syi’ah, yang terdiri dari dua madzhab besar, yaitu Syi’ah Imamiyah yang terdiri dari dua belas imam dan madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Pada zaman para imam madzhab, kaum Muslim mempunyai kebebasan dalam mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya. Diantara dampak dari kebebasan ini tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung sekitar tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang fiqih, sekitar pertengahan abad ke-4 Hijrah.
Setelah masa ini, mayoritas ulama tidak berani melakukan ijtihad secara bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh para imam madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang mendukung Ilmu Fiqih ini berkembang, seperti ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqih Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 H sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad (Periode Taqlid). Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Bahkan dipandang tepat.
Kemudian pada abad ke-4 Hijrah atau abad ke-20 Masehi, bermunculan para ulama yang giat mengadakan pendekatan antar berbagai madzhab dalam pemikiran-pemikiran fiqihnya, seperti Syaikh Mahmud Syaltut (wafat.1963) dengan gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar madzhab).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan berbagai persoalan hidup dan agar mereka memegang kendali dalam kehidupan ini. Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau gejala pendekatan antar madzhab pada masa modern dapat dilihat pada sistem mempelajarinya yang berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi penulisannya yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.
Peran yang besar dalam pengembangan hukum Islam madzhab-madzhab fiqih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang luas dan komprehensif, sehingga Fiqih Islam tidak hanya mampu membawa persoalan-persoalan kontemporer. Selain itu, berkembangnya madzhab-madzhab fiqih itu membuat hukum Islam menjadi fleksibel.
B. IJTIHAD
1.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad (dalam bahasa arab berasal dari kata (اجتهاد) Jahada = berusaha dengan sungguh-sungguh) dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat  tertentu.

Adapun menurut para ahli usul fikih, antara lain :
1.  Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkasy
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang bersifat operasional de­ngan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). 
2.  Imam al-Amidi
Dalam bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat  zanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
2.    Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.
Berdasarkan uraian tersebut maka para ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam yaitu :
a.  Wajib Ain, bagi seeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya, begitupula apabila peristiwa tersebut dia alami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.  Wajib kifayah, bagi seseorang yang diatanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan aka hilang smentara masih ada mujtahid lain selain darinya.
c.   Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik di tanyakan maupun tidak.
Dengan demikian garis besar yang dapat ditarik dari keterangan tersebut adalah bahwa Ijtihad dan berijtihad hukumnya wajib bagi yang telah menenuhi kreteria-keriteria.
3.    Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam 2 bagian yaitu ijtihad fardi dan jami’i.
a.  Ijtihad Fardi
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang, tak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang lain yang menyetujuinya, dinamakan ijtihad fardi. Itulah ijtihad yang dibenarkan rasul kepada Mu’adz dan itulah ijtihad yang ditekankan Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari kepada Syuraih. Umar mengatakan kepada Syuraih :
و ما لم يتبين لك فى ا لمسنة فا جتهد فيه ر ا يك.
Artinya : “Dan apa yang tidak nyata kepada engkau, dalam as sunah, maka berijtihad dengan mempergunakan daya fikir engkau”.

b.  Ijtihad Jama’i
Ijtihad terhadap sesuatu masalah ysang disepakati oleh semua mujtahid. itulah yang di katakan ijtihad jama’i.
“Semua ijtihad dalam suatu perkara yang di sepakati oleh semua mujtahid”  
Dalam kaitan ini Umar pun mengataklan kepada Syuraikh : Yang artinya : “Dan bermusyawarahlah (tanya pendapat) orang-orang berilmu dan orang-orang saleh.”
Diriwayatkan oleh Muhaimin bin Mihram bahwasanya Abu Bakar dan Umar apabila menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka. Maka apabila mereka sepakat terhadap suatu pendapat, beliaupun memutuskan hal itu dengan pendapat tersebut. Maka hal itulah yang dikatakan ijtihad Jama’i.
4.    Objek Ijtihad
Kaidah yang harus dipegang dengan seerat-eratnya oleh mujtahid ialah apabila suatu nash syar’i lagi qoth’i wurudnya dan dalalahnya, tak ada tempat melakukan ijtihad. Wajib diterapkan menurut keadannya, karena dia qoth’i wurudnya dan dalalahnya. Di antara ayat-ayat yang demikian, ialah ayat hukum yang mufassir dan ayat-ayat yang muhkam, seperti firman allah SWT, yang artinya :
“Wanita penzina dan laki-laki penzina, maka cambuklah masing-masingnya seratus kali”.
Tidak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa penzina dengan cambukan dan bilangan kali cambukan. Demikian pula tak ada ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Demikian pula sunah-sunah yang sudah mutawatir.
Adapun apabila nash itu dhanni wurudnya/ dalalahnya, maka itu yang menjadi objek ijtihad. Para mujtahid membahas kejadian yang tidak ada nashnya agar sampai pada pengetahuan hukum dari jalan qiyas atau istihsan atau istisbah atau ‘uruf atau masalah mursalah dan sebagainya. Al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu.
5.    Kedudukan Ijtihad
Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah al-Qur’an dan Hadits.
6.    Fungsi Ijtihad
Telah diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum yang dipetik dari kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka menjadi pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu.
Oleh karena syariat islam itu adalah syariat yang berdasarkan illahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi seperti Al-Qur’an dan As-Sunah, ataupun yang diwujudkan oleh akal seperti : Ijma’, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian menjadilah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.
Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum syara’ yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad Iqbal) menyatakan bahwa Ijtihad merupakan “The Princple of Movement” daya gerak kemajuan Islam, dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.
7.    Syarat-Syarat Berijtihad
Al Ghazali berpendapat seorang mujtahid harus memiliki dua syarat, pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab, sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah syarat diterimanya fatwa si mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid.
syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut:
1.    Menguasai bahasa arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf), Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah.
2.    Mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an
3.    Mengetahui ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan sunnah.
4.    Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus, nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak.
5.    Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll.
6.    Menguasai Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan persetujuan (sunnah) Nabi SAW telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan jumlahnya mencapai ribuan.
7.    Menguasai tafsir dan maksud-maksud Al Qur an.
Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak sifatnya, artinya tanpa penguasaan prinsip-prinsip itu tidak mungkin seseorang dapat mengambil hukum langsung dari Al Quran dan sunnah. Dalam dunia Syi'ah Ijtihad adalah fardu Kifayah, dan untuk menjadi Mujtahid seseorang diharuskan belajar melalui tahapan-tahapan tertentu, dan pada setiap tahapan harus mempelajari beberapa kitab ushul fiqh dengan baik dari yang paling sederhana sampai yang paling pelik.
8.   Tingkatan-tingkatan Ijtihad
Sebagaiman yang dikatakan oleh Allamah Abdullah Darraz : “Ijtihad itu adalah mengeluarkan seluruh kemampuan dan memberikan segala kekuatan serta pikiran. Hal itu dilaksanakan adakala memperoleh hukum syari, adakala membuat penetapan yakni : menetapkan hukum atas tiap-tiap yang harus melaksanakannya seperti menetapkan kaidah segala yang dilarang, boleh terhadap segala perbuatan yang tidak dilarang syara’ kita mengerjakannya “ijtihad” untuk memperoleh hukum, yang hanya dapat dilaksanakan oleh ulama-ulama yang mempunyai keahlian sempurna untuk berijthad. Ijtihad menetapkan hukum seluruh orang yang tinggi ilmunya, dan dapat melakukannya.
Ringkasnya jihad itu dapat dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :
1.    Ijtihad Darakil Ahkam (menciptakan hukum yang belum ada).
2.    Ijtihad Tathbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang menerimanya).
9.     Tujuan Ijtihad
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
C.    ITTIBA’  DAN TAQLID DALAM MAZHAB
1.    Pengertian Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya. Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Allah jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Ittiba’ dan Taqlid. Yakni, Ittiba’ mengikuti pendapat (yang merupakan hasil ijtihad) disertai pengetahuan tentang alas an-alasan, dalil-dalil, dan hujjahnya. Sedangkan Taqlid adalaha sebaliknya, mengikuti pendapat secara buta yaitu tanpa disertai kepahaman tentang apa yang diikuti tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam Al-Mushthafa bahwa “Ittiba’ itu wajib, sedangakan Taqlid itu dilarang”.
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya.”
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya.”
Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang.”
2.    Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قلَّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ (yuqallidu) – تَقْلِيْدًا (taqlidan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Dalam definisi lain yaitu menerima pendapat orang lain tanpa dikemukakan alasannya. Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Sedangkan menurut Istilah Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang bertaqlid disebut Muqallid.
Sedangkan taqlid menurut syara’ adalah melakukan suatu perbuatan atau tindakan berdasarkan perkataan orang lain tanpa memiliki hujjah atau bukti yang diperlukan. Misalnya orang awam yang mengambil perkataan (pendapat) seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil perkataan mujtahid yang sederajat dengan dia. Taqlid dalam masalah akidah tidak dibolehkan, karena Allah telah mencela orang-orang yang taqlid dalam masalah akidah.
Firman Allah SWT :
‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
Dalam persoalan ijtihad dan taqlid ini, asy-Syaukani mengomentari dengan mengatakan bahwa, ijtihad wajib atas orang yang memiliki kualifikasi mujtahid dan melarang taqlid berdasarkan atas kandungan ayat al-Qur’an:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. (QS. An-Nisa’: 59)
Menurut asy-Syaukani, Allah tidak memerintahkan kembali kepada pendapat seseorang dalam masalah agama, tetapi diperintah-Nya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian maka seseorang harus dapat memetik kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cara melakukan istimbath. Akan tetapi, jika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ia harus melakukan ijtihad bi al-ra’yi.
Pandangan asy-Syaukani ini dapat diterima oleh para pengikut madzhab yang empat. Namun persoalannya kemudian adalah, bagaimana jika kasus ini terjadi pada orang awam, apakah mereka tetap melakukan ijtihad? Dalam konteks ini, para pengikut imam Madzhab yang empat mewajibkan bagi orang awam untuk bertaqlid kepada salah seorang mujtahid. Menurut mereka, orang awam yang tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang hukum Islam, mustahil dapat melakukan ijtihad; dan jika mereka tetap juga diwajibkan melakukan ijtihad, maka akan terjadi kekacauan hukum dalam masyarakat atau dapat mengakibatkan terbengkalainya berbagai sektor kehidupan, karena setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan ijtihad.


a.    Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a)  Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b)  Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain:
1)    Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis.
2)    Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
3)    Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlid itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
c)  Taqlid yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar sendiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid. Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah.
Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai. Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya, antara lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum, aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
b.    Syarat dan dalil pembolehkan Taqlid
Mengenai syarat taqlid dapat dilihat dari dua hal yaitu dari syarat orang bertaqlid dan syarat yang di taqlid.
Syarat orang yang bertaqlid yaitu orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’ ia boleh mengikuti pendapt orang lain yang lebih mengetahui hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Namun apabila orang itu pandai sanggup secara sendiri menggali hukum syara maka ia harus berijtihad.
Syarat yang ditaqlih adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya.
Sedangkan dalil yang dapat dijadikan acuan dalam pentaqlidan tersebut yaitu suarah an-Nahal ayat 43.
Firman Allah SWT :
     "Bertanyalah kepada ulama apabila kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
c.    Tingkatan Taqlid dan Perkembangan taqlid
             Sebagaimana halnya ijtihad atau mujtahid yang bertingkat-tingkat, demikian  juga  taqlid atau muqallid  yang  terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1)    Taqlid secara total/ murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid.
2)    Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3)    Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh mujtahid muntasib.
Sedangkan perkembangan taqlid sendiri dalam sejarah islam terdapat setidaknya 3 priode, yaitu :
1)    Periode taqlid pertama yaitu abad kempat Hijriah sampai jatuhnya Bagdad ketangan Bangsa Tartar yaitu pertengahan abad ketujuh hujriah). Pada masa ini para ulama menegakkan fatwa imamnya dan menyeru masyarat agar bertaqlid kepada mazhab yang dianutnya, di Irak ulama mempropogandakan supaya bertaqlid pada Mazhab Imam Abu Hanafi, di Madinah dianjurkan bertaqlid pada mazhab Imam Malik, disamping kondisi seperti itu, juga lahir ulama yang menyerukan mazhab Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Pada masa ini sedikit sekali ulama yang mencurahkan ilmu pengetahuannya untuk mencari ilmu pengetahuan secara merdeka, kebanyak para ulama pada saat itu hanya sekedar menguatkan imam-imam mereka. Pada masa itulah kitab-kitab karangan imam-imam mereka dipelajari, dikaji dan diajarkan diberbagai tempat dan kota, sehingga sering terjadi perdebatan dan pertentangan bahkan bisa samapai perkelahian antara penganut mazhab yang lain. Maka dalam priode ini semboyan-semboyang sering sekali terucap seperti “ Kami  Mazhab Hanafiyah, Kami Mazhab Hambaliyah, Kami Mazhab Malikiyah, Kami Mazhab Syafi’iyah. Hal itulah yang menyebabkan umat islam mengalami perpecahan.
2)    Periode Taqlid kedua yaitu abad keempat hijriah samapi abad kesepuluh hijriah. Pada masa ini keberadan taqlid belum merata akan tetapi kondisinya semakin parah dari pada priode pertama tadi, hanya sedikit ulama yang mampu dan berani merobek tirai taqlid yang menggelapkan cahaya ijtihad itu. Diantara ulama yang mampu menggunakan daya ijtihadnya seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qyyim dan sebagainya.
3)    Periode Taqlid ketiga, yaitu abad kesepuluh hijriah







DAFTAR PUSTAKA


1 komentar:

  1. Slots Casino site - Lucky Club
    Find out more about the site in Slots luckyclub.live Casino. We have the best games and most popular ones here. Sign up and get 25 free spins and a bonus of 25 free

    BalasHapus