BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Melihat
persoalan semakin ruwet dan semakin susah mencari penyelesaian dengan nas-nas
maka menjadi landasan utama kenapa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti.
Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad,
seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah
semenjak lama menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi
tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif
memeras akal budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya.
Nabi Muhammad
SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran
menjadi lompatan dan pegangan memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik,
bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial,
sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan
bumi.
Kini, ijtihad
semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks.
Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad
dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya
pada model lama seperti yang terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman
konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak
tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik
yang kerap di idealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif.
Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad
pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang
kesilaman.
Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya
sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk
mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari
beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi
oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah
satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk
mengembangkan rasionalisme dalam Islam.
Namun tetap perlu disadari bahwa berijtihad adalah
sebuah kesepian, karena setiap ijtihad yang baik hampir selalu mewujud menjadi
pembangkangan dan penyangkalan atas klise pemikiran. Ijtihad adalah kerja untuk
menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak
intelektual yang handal dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang
yang punya kecakapan teknis dan kepandaian metodologis pun tetap memerlukan
nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan
diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.
Dengan jalan ijtihad sebagai suatu cara
mengimplementasi hukum Islam, mutlak harus ada, namuan catatan yang patut
diketahui bahwa pengambilah hukum secara ijtihad tidak mudah, ada
kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi sehingga baru bisa di sebut
sebagai mujtahid, jika syarat ijtihad tidak terpenuhi maka cara
pemecahan hukum yang dilakukan adalah dengan Ittiba yaitu mengikuti para
mujtahid akan tetapi paham akan konsep dan landasan yang dipakai oleh mujtahid
yang ia ikuti dalam pengembilan hukum tersebut dan orang yang berittiba di
sebut Mutaabi. Jika ia tidak paham maka proses pengambilan hukumnya
disebut Taqlid dan orang melakukan taqlid disebut muqallid, dan
pada posisi terendah dalam pengambilah hukum disebut Talfiq yaitu
mengambil hukum dari berbagai mashab-mashab atau faham-faham dan di jadikan
satu dalam mengambilan hukum.
Dengan demikian
bagaimana konsep pengambilan hukum dalam islam seperti yang telah disinggung
diatas, maka bab selanjutnya dalam tulisan ini akan dipaparkan secara jelas.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa yang
dimaksud Mazhab?
2. Apa yang
dimaksud Ijtihad?
3. Apa yang
dimaksud Taqlid?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mazhab
Mazhab (bahasa arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari
bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi
tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi
seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para
ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj)
yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Mazhab menurut ulama fiqih,
adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih
mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih
sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab
secara umum, bukan suatu mazhab khusus
Pembagian Mazhab
Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari
kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab
Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
Sunni
Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah,
terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam
keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan
yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Sedangkan untuk Sunni
dari kalangan Salafiyah, menggunakan semua mahzab
dengan dalil yang kuat sebagai pedoman dalam menjalani ritual keagamaan dan
lain-lainnya.
1. Hanafi
Didirikan
oleh Imam Abu Hanafi, Mazhab Hanafi adalah yang
paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di
Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Srilanka, dan ), Mesir bagian Utara,
separuh Iraq, Syiria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi),
Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
2. Maliki
Didirikan
oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di
seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara.
Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah
sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad Hijrah, hidup, dan meninggal di sana;
dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
3. Syafi'i
Dinisbatkan
kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28%
muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia, Turki, Iraq,
Syiria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura,
Filipina, Srilanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
4. Hambali
Dimulai oleh
para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti
oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah Semenanjung Arab. Mazhab
ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi.
Secara sosiologis timbulnya berbagai madzhab dalam
hukum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang
melingkupi para imam Madzhab dalam proses istimbath hukumnya. Di samping itu,
Muhammad Syaltut dan Muhammad Ali al-Says, mengidentifikasi beberapa faktor
yang menyebabkan timbulkan berbagai madzhab, antara lain:
1. Perbedaan
pemahaman tentang lafadz nash. Para ulama’ berbeda dalam memahami lafadz nash,
karena bisa jadi suatu lafadz biasanya memiliki makna hakiki dan majazi.
Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga
fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti “suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya
dengan “haid”.
2. Perbedaan
dalam masalah hadits. Perbedaan ini terjadi, karena ada hadits yang sampai
kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai kepada fuqaha yang lain. Di samping
perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadits yang absah dijadikan basis
argumentasi dalam ber-istidlal.
3. Perbedaan
dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash. Para fuqaha berbeda
dalam memahami apakah suatu lafadz al-‘am itu qath’i atau zhanni.
Sebagian memahami bahwa lafadz al-‘am itu bersifat qath’i jika tidak ada
takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagai zhanni
bukan qath’i.
4. Perbedaan
dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan (ta’arud). Para fuqaha
berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara
penyelesaiannya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya
tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman
para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan
sehingga harus dicarikan metode penyelesaiannya melalui tarjih.
5. Perbedaan
dalam qiyas. Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak qiyas sebagai dalil
hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama
dalam intensitas penerimaannya.
6. Perbedaan
dalam penggunaan dalil-dalil hukum. Dalil hukum di bagi menjadi dua bagian,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil al-Qur’an dan
Al-Hadits. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah.
Berkaitan dalil yang di sebut terakhir ini, para ulama’ berbeda dalam
penerimaannya sebagai basis ber-istidlal.
7. Perbedaan
dalam pemahaman illat hukum dan nasakh. Illat hukum, merupakan dasar bagi
penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan
illat, dan mereka juga berbeda dalam nasakh, yaitu penghapusan suatu hukum
dengan ketentuan hukum yang datang kemudian.
Di samping empat madzhab fiqih yang di sebutkan di atas, terdapat sejumlah
madzhab fiqih lain, seperti madzhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya.
Namun saat ini madzhab-madzhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit
pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)
terdapat madzhab Syi’ah, yang terdiri dari dua madzhab besar, yaitu Syi’ah
Imamiyah yang terdiri dari dua belas imam dan madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Pada zaman para imam madzhab, kaum Muslim mempunyai kebebasan dalam
mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya. Diantara dampak dari kebebasan ini
tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri
madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung sekitar
tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang fiqih, sekitar
pertengahan abad ke-4 Hijrah.
Setelah masa ini, mayoritas ulama tidak berani melakukan ijtihad secara
bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing
hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh para imam
madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang
mendukung Ilmu Fiqih ini berkembang, seperti ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqih
Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 H
sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad (Periode Taqlid). Disebut
demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid
sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Bahkan dipandang tepat.
Kemudian pada abad ke-4 Hijrah atau abad ke-20 Masehi, bermunculan para
ulama yang giat mengadakan pendekatan antar berbagai madzhab dalam
pemikiran-pemikiran fiqihnya, seperti Syaikh Mahmud Syaltut (wafat.1963) dengan
gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar madzhab).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama
yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan
berbagai persoalan hidup dan agar mereka memegang kendali dalam kehidupan ini.
Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau gejala pendekatan antar
madzhab pada masa modern dapat dilihat pada sistem mempelajarinya yang
berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi penulisannya
yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.
Peran yang besar dalam pengembangan hukum Islam madzhab-madzhab fiqih telah
melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang luas dan komprehensif,
sehingga Fiqih Islam tidak hanya mampu membawa persoalan-persoalan kontemporer.
Selain itu, berkembangnya madzhab-madzhab fiqih itu membuat hukum Islam menjadi
fleksibel.
B.
IJTIHAD
1.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad
(dalam bahasa arab berasal dari kata (اجتهاد) Jahada = berusaha dengan
sungguh-sungguh) dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan
pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun
menurut para ahli usul fikih, antara lain :
1. Imam asy-Syaukani
dan Imam az-Zarkasy
ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang
bersifat operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan
hukum).
2. Imam
al-Amidi
Dalam
bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum),
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang
bersifat zanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari
tambahan kemampuannya itu.
2.
Dasar Hukum
Ijtihad
Para fuqaha
boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan
antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)
“Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram”.
Dari ayat
tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram,
apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad
dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Secara
kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi
untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran
sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini.
Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat
memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis lain
juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus
Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita
semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau
menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah
bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz
menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau
engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya
akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah
menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi sendiri
memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi
membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang
yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu
kebaikan.
Berdasarkan
uraian tersebut maka para ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam yaitu :
a. Wajib Ain,
bagi seeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum
diketahui hukumnya, begitupula apabila peristiwa tersebut dia alami sendiri
oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib
kifayah, bagi seseorang yang diatanya tentang suatu peristiwa yang tidak
dikhawatirkan aka hilang smentara masih ada mujtahid lain selain darinya.
c. Sunnah,
yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik di tanyakan
maupun tidak.
Dengan
demikian garis besar yang dapat ditarik dari keterangan tersebut adalah bahwa
Ijtihad dan berijtihad hukumnya wajib bagi yang telah menenuhi
kreteria-keriteria.
3.
Macam-macam
Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam 2 bagian yaitu
ijtihad fardi dan jami’i.
a. Ijtihad
Fardi
Setiap
ijtihad yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang, tak ada keterangan bahwa
seluruh mujtahid yang lain yang menyetujuinya, dinamakan ijtihad fardi. Itulah
ijtihad yang dibenarkan rasul kepada Mu’adz dan itulah ijtihad yang ditekankan
Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari kepada Syuraih. Umar mengatakan kepada Syuraih
:
و ما لم
يتبين لك فى ا لمسنة فا جتهد فيه ر ا يك.
Artinya : “Dan apa yang tidak nyata kepada engkau, dalam as sunah, maka
berijtihad dengan mempergunakan daya fikir engkau”.
b. Ijtihad
Jama’i
Ijtihad terhadap sesuatu masalah ysang disepakati oleh
semua mujtahid. itulah yang di katakan ijtihad
jama’i.
“Semua ijtihad dalam suatu perkara yang di sepakati
oleh semua mujtahid”
Dalam kaitan ini Umar pun mengataklan kepada Syuraikh
: Yang artinya : “Dan bermusyawarahlah (tanya pendapat) orang-orang berilmu
dan orang-orang saleh.”
Diriwayatkan oleh Muhaimin bin Mihram bahwasanya Abu
Bakar dan Umar apabila menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan
pendapat mereka. Maka apabila mereka sepakat terhadap suatu pendapat, beliaupun
memutuskan hal itu dengan pendapat tersebut. Maka hal itulah yang dikatakan
ijtihad Jama’i.
4.
Objek
Ijtihad
Kaidah yang harus dipegang dengan seerat-eratnya oleh
mujtahid ialah apabila suatu nash syar’i lagi qoth’i wurudnya dan dalalahnya,
tak ada tempat melakukan ijtihad. Wajib diterapkan menurut keadannya, karena
dia qoth’i wurudnya dan dalalahnya. Di antara ayat-ayat yang demikian, ialah
ayat hukum yang mufassir dan ayat-ayat yang muhkam, seperti firman allah SWT,
yang artinya :
“Wanita penzina dan laki-laki penzina, maka cambuklah
masing-masingnya seratus kali”.
Tidak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum
menyiksa penzina dengan cambukan dan bilangan kali cambukan. Demikian pula tak
ada ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Demikian pula
sunah-sunah yang sudah mutawatir.
Adapun apabila nash itu dhanni wurudnya/
dalalahnya, maka itu yang menjadi objek ijtihad. Para mujtahid membahas
kejadian yang tidak ada nashnya agar sampai pada pengetahuan hukum dari jalan
qiyas atau istihsan atau istisbah atau ‘uruf atau masalah mursalah dan
sebagainya. Al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan
hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu.
5.
Kedudukan
Ijtihad
Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak
digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad,
dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan
ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut,
pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai
maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan
oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi
dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut
diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah
al-Qur’an dan Hadits.
6.
Fungsi
Ijtihad
Telah diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum
yang dipetik dari kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka
menjadi pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu.
Oleh karena syariat islam itu adalah syariat yang
berdasarkan illahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang
dinukilkan dari Nabi seperti Al-Qur’an dan As-Sunah, ataupun yang diwujudkan
oleh akal seperti : Ijma’, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian menjadilah
ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum dari
dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang
dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.
Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu menjadi penggerak
yang sangat diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum syara’ yang menimpa
masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad
Iqbal) menyatakan bahwa Ijtihad merupakan “The Princple of Movement”
daya gerak kemajuan Islam, dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika
ajaran Islam.
7.
Syarat-Syarat
Berijtihad
Al Ghazali berpendapat seorang mujtahid harus memiliki
dua syarat, pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab,
sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari
kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah
syarat diterimanya fatwa si mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid.
syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Menguasai
bahasa arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf),
Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang
arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis
dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah.
2. Mengetahui
asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an
3. Mengetahui
ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan
sunnah.
4. Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas
tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum
mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus,
nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah
perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak.
5. Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi
hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan
ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan
sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll.
6. Menguasai Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan
persetujuan (sunnah) Nabi SAW telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan
jumlahnya mencapai ribuan.
7. Menguasai
tafsir dan maksud-maksud Al Qur an.
Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak
sifatnya, artinya tanpa penguasaan prinsip-prinsip itu tidak mungkin seseorang
dapat mengambil hukum langsung dari Al Quran dan sunnah. Dalam dunia Syi'ah
Ijtihad adalah fardu Kifayah, dan untuk menjadi Mujtahid seseorang diharuskan
belajar melalui tahapan-tahapan tertentu, dan pada setiap tahapan harus
mempelajari beberapa kitab ushul fiqh dengan baik dari yang paling sederhana
sampai yang paling pelik.
8. Tingkatan-tingkatan
Ijtihad
Sebagaiman yang dikatakan oleh Allamah Abdullah Darraz
: “Ijtihad itu adalah mengeluarkan seluruh kemampuan dan memberikan segala
kekuatan serta pikiran. Hal itu dilaksanakan adakala memperoleh hukum syari,
adakala membuat penetapan yakni : menetapkan hukum atas tiap-tiap yang harus
melaksanakannya seperti menetapkan kaidah segala yang dilarang, boleh terhadap
segala perbuatan yang tidak dilarang syara’ kita mengerjakannya “ijtihad”
untuk memperoleh hukum, yang hanya dapat dilaksanakan oleh ulama-ulama yang
mempunyai keahlian sempurna untuk berijthad. Ijtihad menetapkan hukum seluruh
orang yang tinggi ilmunya, dan dapat melakukannya.
Ringkasnya jihad itu dapat dibagi menjadi 2 tingkatan,
yaitu :
1. Ijtihad
Darakil Ahkam (menciptakan hukum yang belum ada).
2. Ijtihad
Tathbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang
menerimanya).
9. Tujuan Ijtihad
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk
memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada
Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
C.
ITTIBA’ DAN TAQLID DALAM MAZHAB
1.
Pengertian Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ adalah
mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen,
dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang
lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya. Ittiba’ (mengikuti)
kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap
manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh
kepada Rasul-Nya. Allah jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di
dalam kehidupannya.
Dengan demikian, terdapat perbedaan
mendasar antara Ittiba’ dan Taqlid. Yakni, Ittiba’ mengikuti pendapat (yang
merupakan hasil ijtihad) disertai pengetahuan tentang alas an-alasan,
dalil-dalil, dan hujjahnya. Sedangkan Taqlid adalaha sebaliknya, mengikuti
pendapat secara buta yaitu tanpa disertai kepahaman tentang apa yang diikuti
tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Ghazali
dalam Al-Mushthafa bahwa “Ittiba’ itu wajib, sedangakan Taqlid itu dilarang”.
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid
menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika
engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan
perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan
seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya.”
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad
berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu
perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun
ittiba maka adalah yang kokoh argumennya.”
Beliau juga berkata, “Setiap orang
yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk
mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam
agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti
perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama
dibolehkan dan taqlid dilarang.”
2.
Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قلَّدَ (qallada)
– يُقَلِّدُ
(yuqallidu) – تَقْلِيْدًا (taqlidan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi,
meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Dalam definisi lain yaitu menerima pendapat
orang lain tanpa dikemukakan alasannya. Seseorang yang bertaqlid, dengan
taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang
mujtahid.
Sedangkan
menurut Istilah Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama
tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang
tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan
alasan-alasannya. Orang yang bertaqlid disebut Muqallid.
Sedangkan
taqlid menurut syara’ adalah melakukan suatu perbuatan atau tindakan berdasarkan
perkataan orang lain tanpa memiliki hujjah atau bukti yang diperlukan. Misalnya
orang awam yang mengambil perkataan (pendapat) seorang mujtahid, atau seorang
mujtahid yang mengambil perkataan mujtahid yang sederajat dengan dia. Taqlid
dalam masalah akidah tidak dibolehkan, karena Allah telah mencela orang-orang
yang taqlid dalam masalah akidah.
Firman Allah
SWT :
‘Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
Dalam persoalan ijtihad dan taqlid
ini, asy-Syaukani mengomentari dengan mengatakan bahwa, ijtihad wajib atas
orang yang memiliki kualifikasi mujtahid dan melarang taqlid berdasarkan atas
kandungan ayat al-Qur’an:
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan
Rasul (sunnahnya)”. (QS. An-Nisa’: 59)
Menurut asy-Syaukani, Allah tidak
memerintahkan kembali kepada pendapat seseorang dalam masalah agama, tetapi
diperintah-Nya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah. Dengan demikian maka seseorang harus dapat memetik kandungan
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cara melakukan istimbath. Akan tetapi, jika
suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ia
harus melakukan ijtihad bi al-ra’yi.
Pandangan asy-Syaukani ini dapat
diterima oleh para pengikut madzhab yang empat. Namun persoalannya kemudian
adalah, bagaimana jika kasus ini terjadi pada orang awam, apakah mereka tetap
melakukan ijtihad? Dalam konteks ini, para pengikut imam Madzhab yang empat
mewajibkan bagi orang awam untuk bertaqlid kepada salah seorang mujtahid.
Menurut mereka, orang awam yang tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang
hukum Islam, mustahil dapat melakukan ijtihad; dan jika mereka tetap juga
diwajibkan melakukan ijtihad, maka akan terjadi kekacauan hukum dalam
masyarakat atau dapat mengakibatkan terbengkalainya berbagai sektor kehidupan,
karena setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan ijtihad.
a.
Hukum
Taqlid
Mengenai
hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu
taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a) Taqlid yang diperbolehkan atau
mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan
sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan
Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu
yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak
berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim
yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk
mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali
dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji
dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan
Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b) Taqlid yang dilarang atau haram,
yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkatan an-nazhr atau yang sanggup
mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara
lain:
1) Taqlid buta, yaitu memahami suatu
hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan
Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut
bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis.
2) Taqlid terhadap orang-orang yang
tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita
ikuti tanpa pamrih.
3) Taqlid terhadap seseorang yang telah
memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlid itu
bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan
Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum
tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum
Allah dan Rasul.
c) Taqlid yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan
Rasulullah saw.
mengambil
pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan
referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya,
termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya
terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil
yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar
mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai
memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun
ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik,
sehingga merasa benar sendiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang
diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah
furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh
taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan
ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang
apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid. Bertaqlid kepada salah satu dari
empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang
melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah
yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya.
Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena
ini berarti menganggap madzhab lain salah.
Muqallid
harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak
juga untuk dipakai. Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek
simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari
dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya,
antara lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme
madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik.
Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum, aplagi
bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian
besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada
satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat
ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas
keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
b.
Syarat dan dalil pembolehkan Taqlid
Mengenai syarat taqlid dapat dilihat dari dua hal yaitu dari syarat orang
bertaqlid dan syarat yang di taqlid.
Syarat orang yang bertaqlid yaitu orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara’ ia boleh mengikuti pendapt orang lain
yang lebih mengetahui hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Namun apabila orang
itu pandai sanggup secara sendiri menggali hukum syara maka ia harus
berijtihad.
Syarat yang ditaqlih adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam
hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya
Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya.
Sedangkan dalil yang dapat dijadikan acuan dalam pentaqlidan tersebut yaitu
suarah an-Nahal ayat 43.
Firman Allah
SWT :
"Bertanyalah kepada ulama
apabila kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
c.
Tingkatan Taqlid dan Perkembangan taqlid
Sebagaimana halnya ijtihad atau mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid atau muqallid yang
terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1) Taqlid secara total/ murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang
dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam,
mereka mengikuti pendapat imam mujtahid.
2) Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para
ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang
fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai
mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3) Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh
mujtahid muntasib.
Sedangkan perkembangan taqlid sendiri dalam sejarah islam terdapat
setidaknya 3 priode, yaitu :
1) Periode taqlid pertama yaitu abad kempat Hijriah sampai jatuhnya Bagdad
ketangan Bangsa Tartar yaitu pertengahan abad ketujuh hujriah). Pada masa ini
para ulama menegakkan fatwa imamnya dan menyeru masyarat agar bertaqlid kepada
mazhab yang dianutnya, di Irak ulama mempropogandakan supaya bertaqlid pada Mazhab
Imam Abu Hanafi, di Madinah dianjurkan bertaqlid pada mazhab Imam Malik,
disamping kondisi seperti itu, juga lahir ulama yang menyerukan mazhab Imam
Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Pada masa ini sedikit sekali ulama yang
mencurahkan ilmu pengetahuannya untuk mencari ilmu pengetahuan secara merdeka,
kebanyak para ulama pada saat itu hanya sekedar menguatkan imam-imam mereka.
Pada masa itulah kitab-kitab karangan imam-imam mereka dipelajari, dikaji dan
diajarkan diberbagai tempat dan kota, sehingga sering terjadi perdebatan dan
pertentangan bahkan bisa samapai perkelahian antara penganut mazhab yang lain.
Maka dalam priode ini semboyan-semboyang sering sekali terucap seperti “
Kami Mazhab Hanafiyah, Kami Mazhab Hambaliyah,
Kami Mazhab Malikiyah, Kami Mazhab Syafi’iyah. Hal itulah yang menyebabkan umat
islam mengalami perpecahan.
2) Periode
Taqlid kedua yaitu abad keempat hijriah samapi abad kesepuluh hijriah. Pada
masa ini keberadan taqlid belum merata akan tetapi kondisinya semakin parah
dari pada priode pertama tadi, hanya sedikit ulama yang mampu dan berani
merobek tirai taqlid yang menggelapkan cahaya ijtihad itu. Diantara ulama yang
mampu menggunakan daya ijtihadnya seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qyyim dan sebagainya.
3) Periode
Taqlid ketiga, yaitu abad kesepuluh hijriah
DAFTAR
PUSTAKA
http://ahmadfuadhasan.blogspot.com/2011/06/ijtihad-taqlid-talfiq-dan-ittiba_23.html Diakses
tanggal 29 maret 2015
http://irzeqrozeqqi.blogspot.com/2011/04/ijtihad-dan-ittiba-dalam
pengembangan.html Diakses tanggal 29 maret 2015
Slots Casino site - Lucky Club
BalasHapusFind out more about the site in Slots luckyclub.live Casino. We have the best games and most popular ones here. Sign up and get 25 free spins and a bonus of 25 free